Catatan Jujur Seorang Guru: Tentang Sekolah, Murid, dan Diri Sendiri.
Pengalaman mengajar saya sangat sedikit, semasa kuliah saya pernah jadi guru les privat agama (atau ngaji lah ya) anak kelas 5 SD selama covid. Enggak bertahan lama, cuma sampai 7 bulan. Beberapa tahun sebelumnya saya pernah dimintai tolong guru pesantren saya untuk mengajar di sekolah pesantren mengajar pelajaran PKN selama 2 hari. Sisanya, pengalaman mengajar karena ada tugas kuliah saja. Jadi sekarang ini pengalaman mengajar terlama saya. Sudah satu tahun lebih saya mengajar di Sekolah Islam Terpadu (SIT)—swasta. Ada banyak cerita dan pelajaran baru di selama setahun lebih bersama sekolah ini. Saking banyaknya akan sangat panjang kalau saya ceritakan satu persatu di sini.
Saya akan coba ceritakan beberapa yang
menyenangkan dan beberapa yang menjengkelkan ke depannya. Tapi sebelum
itu, saya mau bilang terima kasih dulu ke istri tercinta yang udah membujuk dan
meyakinkan saya kalau mengajar atau jadi guru adalah pekerjaan yang
menyenangkan. Awalnya saya enggan atau tidak terlalu berminat menjadi guru.
Karena saya kira saya punya skill yang cukup baik untuk
diterima di corporate. Meski akhirnya enggak banyak juga corporate yang
mau nerima saya.
Terima kasih juga kawan-kawan guru
SMPIT Bilingual Nurul Imam, khususnya Para Ikhwan
Matras Biru (begitu kami menamainya). Kalian rekan sejawat yang membantu
meyakinkan saya juga, kalau jadi guru dengan segala drama dan dinamikanya
adalah pekerjaan yang worth it dan relevan bagi anak muda umur
20an. Saya bakal banyak cerita tentang kalian di sini. Sebelumnya saya izin
(meskipun belum tau diizinin atau enggak) dan maaf apabila nanti saya sebut
atau apa yang diceritakan kurang tepat
dan salah karena ini berdasarkan apa yang saya
lihat atau tahu saja—sudut pandang pribadi,
begitu.
Terima kasih juga temen-temen
siswa-siswi yang saya banggakan. Kalian sungguh menggebirakan. Saya iri sama
energi kalian yang selalu positif. Saking positifnya kalian bercanda terus,
rame terus, berisik terus. Itu bukan hal yang buruk ya, justru hal yang kaya
gitu yang bikin pekerjaan guru ini jadi lebih hidup. Saya pernah seusia kalian
dan seseru kalian. Di umur segini saya udah enggak punya energi semeledak-ledak
kalian. Nanti kalau kalian di umur segini juga kayanya bakal lebih kalem
deh. Banyak pikiran soalnya hehe.
Saya lanjut ya. Kalau harus dibuat
poin-poin, kayanya gini deh:
Hal yang bikin saya senang jadi
guru
- Melatih publik
speaking atau setidaknya percaya diri ngomong depan orang.
- Tukar
pikiran sama guru lain perihal ngelola kelas, metode pembelajaran, dll
yang berkaitan sama pembelajaran.
- Belajar
memahami dan masuk ke cara berpikir atau dunia anak-anak SMP zaman
sekarang.
- Kenal
dan akrab sama temen-temen guru yang berbeda-beda latar belakang
ideologinya.
- Karena
saya hobi nyanyi, sering teriak-teriak di kelas biar suaranya gak kalah
sama anak-anak bikin saya bisa nyanyi lagu-lagu nada tinggi-yang dulu
enggak nyampe.
- Jadi
wali kelas (khususnya kelas Albany sekarang)
- dll
Hal yang bikin jengkel jadi guru
- Kadang
suka kesel kalau lagi capek tapi anak-anak belum capek juga bercandanya.
- Habis
teriak-teriak bisa lancar nada tinggi pas nyanyi itu hasil baik yang
didapat setelah waktu yang lama, tapi yang real time sehabis
teriak-teriaknya adalah kepala jadi sering pusing. Sukur-sukur pas perut
udah keisi, kalau belum malah jadi naik juga asam lambung.
- Gajinya
flat enggak ada bonus2an kalau effort banget ngeusahain sesuatu, atau
ngasih ide dan inovasi. Tapi kalau mau biasa-biasa aja juga gereget gitu.
Kayak "sebenernya bisa asal diginiin mah." cuman nanti dapet
capek doang, sama setidaknya apresiasi lah: dikasih pujian.
- Meskipun
senang, jadi wali kelas juga ada jengkelnya. Saya paling jengkel kalau
anak-anak kelas saya enggak solid, acuh, enggak saling peduli dan terlalu
masing-masing. Jengkel juga kalau bikin kesalahan enggak berani tanggung
jawab terus malah tuduh-tuduhan. Saya benci lihat anak kelas saya
pengecut.
- Kadang
saya sebel juga sama sistem sekolahnya. Meski begitu saya mudah memaafkan
hal ini karena sekolahnya masih baru, belum ada alumni. Jadi ya sama-sama
belajar lah kalau ini mah.
- Segitu
aja kalau yang jengkel mah, enggak pake dll.
Biarkan saya jelaskan setiap poin-poin di atas secara ringkas. Mari mulai sesuai urutan: dari hal yang bikin senang.
Pertama melatih publik speaking. Terkesan klise tapi saya cantumkan itu alasannya adalah saya memang enggak cukup tangguh ngomong di depan banyak orang lama-lama. Saya suka jadi MC tapikan MC enggak setiap hari kaya guru. Guru setiap hari ketemu anak yang berbeda karakter, berbeda mood pula. Tiap hari mesti ngatur, ngolah dan improve kondisi kelas biar pembelajaran tersampaikan, biar fokus anak-anak enggak buyar, dituntut untuk selalu bisa menarik perhatian anak-anak. Tentu apa lagi kalau bukan dengan senjata publik speaking. Setidaknya bagi saya ini melatih percaya diri dulu dengan materi yang akan saya terangkan dan percaya diri untuk tegas ke anak-anak yang enggak fokus sama proses pembelajaran. Ini sulit, loh bagi saya, mah.
Kedua, tukar pikiran dengan guru lain.
Dari awal saya terkesan ketika menyadari bahwa setiap guru punya
pendekatan mengajar sendiri. Ada yang tenang banget. Ada yang tegas tapi
lembut. Ada yang kocak. Ada yang penuh struktur dan selalu siap dengan rencana
pelajaran yang rapi. Dari mereka saya percaya bahwa ngajar itu bukan cuma
urusan menyampaikan materi. Mengajar itu soal memahami manusia lain. Soal
mengenali ritme kelas. Soal kapan harus maju, kapan harus mundur sebentar.
Percakapan kecil di ruang guru sering jadi momen yang paling berkesan. Banyak ide yang
lahir dari obrolan singkat sambil ngemil. Banyak strategi
yang muncul setelah saling curhat tentang kelas yang susah
di-warah. Saya merasa beruntung sekali bisa
akrab dan belajar dari mereka.
Ketiga, belajar masuk ke cara berpikir anak-anak SMP zaman sekarang.
Ini hal yang lucu sekaligus menantang. Dunia terasa berubah secara
cepat. Banyak hal yang mereka enggak tahu padahal saya
merasa hal itu baru kemarin terjadi. Cara bercanda berubah. Cara berinteraksi berubah. Hal yang mereka anggap
penting juga berubah. Saya jadi sadar kalau mengajar anak SMP hari ini enggak bisa pakai kacamata
saya ketika SMP dulu. Mereka punya bahasa sendiri. Mereka punya tolak
ukur keseruannya sendiri. Punya kekhawatiran sendiri. Mereka punya
selera humor yang kadang absurd dan tiktok banget
gitu. Kadang saya capek mengikuti ritmenya. Tapi justru itu yang bikin saya merasa hidup
dan diterima. Bagi saya ini kesempatan baik:
bisa memahami generasi baru lewat interaksi sehari-hari. Dan saya merasa itu
sangat memperkaya diri saya, aseek.
Keempat, kenal dan akrab dengan guru-guru yang latar belakangnya
berbeda.
Bagian ini yang saya tadi minta maaf dulu di atas,
buat rekan-rekan guru ikhwan. Ini salah satu pengalaman
baru dan yang paling menarik. Banyak yang latar
belakangnya dari pesantren. Ada yang akademis banget.
Ada yang aktif di organisasi tertentu. Ada pula yang
olahraga banget. Masih banyak lainnya juga.
Di bagian ini yang paling pengen saya sorot yaitu tentang saya bertaman dengan teman-teman salafi. Saya besar dari keluarga dan pendidikan pesantren dengan basis NU yang cukup kuat. Alhasil cara pandang pun sedikit banyaknya terpangaruh oleh NU. Sangat tidak disangka saya bisa dekat dengan teman-teman Salafi. Belakangan NU dan Salafi kerap kali bersebrangan pandangan. Yang saya tahu di mata orang NU, Salafi berpaham seperti Hizbut Tahrir: mereka yang cenderung memaksakan sistem pemerintahan islam atau khilafah. Padahal setelah saya berani mengobrol ke arah sana, ternyata tuduhan itu sama sekali tidak benar. Atau tentang bid’ah. Menurut mereka, justru orang-orang salafi yang mudah membid’ahkan orang lain itu boleh jadi ngajinya kurang sempurna. Meski begitu perbedaan NU dan salafi tetap kontras di beberapa bagian. Tapi akhirnya saya bisa paham dan kalau dilihat lebih seksama malah lebih banyak kesamaan—paham—nya dibanding bedanya.
Kelima, karena saya suka nyanyi, pekerjaan ini malah bikin kemampuan
vokal saya naik.
Bagian ini juga yang paling tidak saya sangka. Saya
pikir capek teriak tiap hari itu cuma bikin suara serak. Tapi ternyata setelah
lewat beberapa bulan, saya bisa ambil nada-nada yang sebelumnya susah. Boleh
jadi teriak-teriak efeknya bikin pita suara tiap hari
olahraga. Meski risiko pusing dan asam lambung naik juga ikut, ya itu nanti
masuk bagian jengkel. Untuk sementara saya syukuri hal baiknya dulu. Bisa
nyanyi lebih tinggi dikit lumayan membahagiakan.
Keenam, jadi wali kelas.
Sudah saya singgung sedikit. Ada bagian yang
menyenangkan. Ada juga yang bikin jengkel. Tapi kalau bicara bagian senangnya,
jadi wali kelas itu rasanya jadi punya temen
curhat yang banyak. Saya walas kelas 8A Albany, saya treatment mereka
selayaknya orang dewasa. Sedikit
banyaknya saya paham kalau di umuran mereka yang puber itu akan jengkel
dan pundung bila dianggap atau diperlakukan seperti anak kecil. Maka,
seperti pada tulisan saya sebelumnya. Saya ikuti cara mereka berinteraksi,
bercanda. dll, tapi di saat yang sama mereka harus ikut juga cara mendidik saya.
Semacam ada kesepakatan tak tertulis, begitu. Saya
pun melihat anak-anak tumbuh, berubah, mencoba memahami diri sendiri. Saya
lihat mereka saling bantu. Ada bertengkarnya
juga. Saya lihat mereka belajar hidup. Dan semua itu bikin saya merasa jadi
bagian dari cerita.
Di bagian ini saya ucapkan terima kasih juga untuk seluruh wali murid
anak-anak Albany yang sudah membantu saya selama menjadi walas. Menjadi walas
adalah pengalaman pertama saya. Saya sempat ragu apakah saya bisa menjalankan
peran ini. Alhamdulillha dari korlas
dan para wali murid, banyak hal yang
saya belum paham betul gimana harus jadi walas menjadi lebih terarah dan jadi lebih enjoy. Saya merasa didampingi,
bukan dibiarkan berjalan sendiri.
Aduh capek. Kalau seru tolong kasih tahu di komen
biar lanjut part dua ya guys—udah kek content creator. Karena akan
sangat panjang, saya putuskan bagian menjengkelkannya dan lanjutanya juga
ditulis di judul lain, nanti. Di sisi lain memang lelah juga nulis teh. Yang pasti apa yang saya paparkan di atas tidak
sepenuhnya mewakili perasaan senang atas pengalaman pertama saya menjadi guru
dan wali kelas. Artinya terlalu besar dan kompleks rasa senang yang saya rasakan sekarang. Ini salah satu pengalaman
berharga.

Komentar
Posting Komentar