Apa yang Paling Meresahkan dari Cara Kita Berislam di Indonesia?

(sumber:www.an-nur.ac.id) Berislam di Indonesia
Mengapa banyak dari umat islam masih bersikap fanatik pada sebuah gagasan, ideologi atau prinsip, terutama ketika berorganisasi atau berkelompok? Mengapa banyak umat Islam yang cenderung menutup kemungkinan kebenaran yang datang dari luar organisasi atau kelompoknya? Mengapa kebanyakan dari umat Islam akan keukeuh dan yakin kalau pendapat dari ulama atau guru yang mereka pelajari dan ikuti itu benar dan selain mereka dianggap salah?


Bukankah dalam Islam diajarkan untuk tidak fanatik terhadap gagasan, ide atau prinsip sekalipun? Misalnya, menarik ibrah dari kisah rasulullah dan para sahabat pada saat bermusyawarah yang tidak keukeuh pada masing-masing pendapat dan tidak membela pendapat lain secara berlebihan? Atau umat islam tahu istilah taklid buta yang mana itu tidak dianjurkan karena akan menutup kebenaran?

Di Indonesia, kecenderungan membela kelompok, fraksi, atau organisasi secara "mati-matian" sangatlah tinggi/masif. Salah satunya para pemeluk agama. Jika boleh diperbandingkan: suatu pekerjaan yang sulit apabila harus menentramkan apalagi menyatukan suku, ras dan agama di negara ini. Butuh waktu yang lama. Hal tersebut didasari karena perbedaan yang terlampau jauh. Sebagaimana kita yang bangga pada identitas dan penerimaan diri oleh suatu lingkungan, membela (mati-matian) suku, ras agama masih bisa dimaklumi.    

Tapi sampai hari ini, justru saya heran: jika masih di satu agama yang sama--masih seagama, maka bersitegang karena sedikit perbedaan harusnya bukan menjadi perkara yang besar dan darurat, juga harusnya minim terjadi apalagi sampai bersikap fanatik. Pada kenyataannya, dewasa ini malah kelewat sulit untuk saling tentram dan damai. Tak pelak saya temui komentar-komentar dalam konten video yang menunjukan kekurangan suatu ormas seperti: 

"bangga menjadi nahdliyin." 

"enak jadi warga muhammadiyah."

"lebih baik disebut salafi, sih"

Sejauh yang saya tahu pernah terjadi ketegangan antar ormas dan kelompok islam: NU dan Muhammadiyah, atau antara NU dengan Front Pembela Islam, juga antara Muhammadiyah dengan kalangan Salafi dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Semua ini menunjukkan bahwa meskipun berada seumat agama, perbedaan cara pandang terhadap tafsir, strategi dakwah, hingga sikap terhadap kekuasaan dapat memicu ketegangan yang cukup meresahkan. Setelah minta bantuan ChatGPT untuk merangkum bersitegang atau konflik antar ormas dan kelompok islam, hasilnya sebagai berikut: 

  • NU dan Muhammadiyah kerap keukeuhan perihal Islam tradisional yang menjaga tradisi lokal, tarekat, dan sanad keilmuan klasik, sementara Muhammadiyah selalu menyuarakan Islam modernis yang menekankan purifikasi dan rasionalisasi ajaran. Perdebatan tentang amaliah misalnya qunut, tahlilan, dan ziarah kubur bukan sekadar soal ritual, tapi ciri perbedaan epistemologis yang lebih mendasar. 
  • Perbedaan dan ketegangan yang mirip juga terjadi antara NU dan Persis (Persatuan Islam). Persis menolak praktik keagamaan yang tidak punya dasar nash yang kuat dan menolak taklid mazhab secara ketat. Sementara NU berpegang pada otoritas empat ulama (Imam Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi) dan sanad keilmuan. 
  • NU dan FPI, juga, berbeda dalam cara menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. NU, terutama lewat GP Ansor dan Banser, menolak gaya dakwah konfrontatif atau keras yang dilakukan FPI. Sebaliknya, FPI menilai sebagian elite NU terlalu akomodatif terhadap pemerintah. Konflik naratif ini makin kentara pada era Aksi 212 (2016–2019) lalu, ketika NU menegaskan posisi Islam moderat (wasathiyah), sedangkan FPI mengusung semangat oposisi moral terhadap penguasa.
  • Dalam waktu yang sama, Muhammadiyah dan kelompok Salafi juga punya ketegangan ideologis. Meski sama-sama menyerukan pemurnian ajaran, Muhammadiyah menekankan rasionalitas dan kemodernan, sementara Salafi menganggap pendekatan itu terlalu liberal. 
  • Pada lingkungan kampus Muhammadiyah, perdebatan dengan HTI sering terjadi, karena Muhammadiyah mendukung sistem negara-bangsa sedangkan HTI mengusung ide khilafah global. Ketegangan itu mendorong Muhammadiyah untuk mempertegas jati dirinya sebagai Islam Berkemajuan—Islam yang modern, nasionalis, tapi tetap berakar pada nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
  • Dinamika atau ketegangan pun tak luput dialami oleh LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). dengan banyak kelompok Islam lainnya. Dulu LDII sempat dikritik karena dianggap eksklusif dan tertutup, bahkan disebut “kelompok bersih-bersih bekas salat” oleh ormas lain. Meski sejak era reformasi, LDII berupaya membuka diri, memperbaiki relasi dengan NU dan Muhammadiyah, dan aktif dalam forum-forum MUI.

Di ranah kampus pun tak kalah menegangkan, organisasi kemahasiswaan Islam seperti HMI, PMII, IMM dan lainnya juga cukup sering mengalami ketegangan pada ranah ideologis. Mereka sering bersaing dalam forum kampus, isu politik nasional, dan perebutan pengaruh.

Perbedaan pendapat adalah niscaya, dan bukan hal yang mesti dibenci. Rasulullah sendiri sering bermusyawarah dengan para sahabat dan tidak menutup diri pada pendapat luar. Dalam Perang Khandaq, beliau menerima ide Salman al-Farisi—orang Persia—tentang strategi parit. Artinya, kebenaran bisa datang dari siapa pun, bukan hanya dari “kelompok kita” saja. Islam juga melarang taklid buta (mengikuti tanpa memahami), sebab itu akan menutup ijtihad dan mematikan daya kritis dalam mencari kebeneran yang HQQ.

Hanya saja, fanatisme tetap bertahan karena manusia pada dasarnya butuh identitas, keamanan, dan pengakuan sosial. Bergabung dalam ormas memberi rasa kepemilikan dan arah hidup. Tapi masa iya kita betah dalam pertengkaran seumat? Masalahnya, ketika identitas jadi tolakan untuk kebenaran mutlak, tak menutup kemungkinan muncullah sikap eksklusif dan menolak pandangan lain. Boleh jadi dari sini pula-lah konflik internal umat Islam sering muncul—bukan karena kebenaran yang bertentangan, tetapi karena ego menjadi paling benar.

Bayangkan jika kita atau kebanyakan umat Islam menyadari betapa gawatnya fanatik buta dan mampu melewati masalah saling tegang ini dengan bersepakat untuk tidak sepakat (berarti kedua belah pihak memutuskan untuk mengakhiri perdebatan atau perselisihan dengan mengakui perbedaan pendapat mereka tanpa memaksakan salah satu pihak untuk menyetujui pihak lain. Ini adalah bentuk toleransi di mana semua pihak sadar bahwa konflik lebih lanjut tidak akan efektif atau tidak diinginkan) kemudian saling ber-husnudzan sebagai jalan keluar. Betapa kuat dan Indahnya Islam Indonesia di mata dunia?  

Komentar

Postingan Populer